Bertemu Kawabata dan Freud
Ada kalanya saya meragukan 144 sks yang saya dapatkan di kampus, dan saya rasa, seperti itulah kenyataannya. Ada keraguan yang terjaga d...
Ada
kalanya saya meragukan 144 sks yang saya dapatkan di kampus, dan saya rasa,
seperti itulah kenyataannya. Ada keraguan yang terjaga dan rasa ingin tahu yang
tak terpenuhi akibat kemalasan. Kemelut seperti ini menjengkelkan, tapi
keseriusan untuk belajar atau menikmatinya, mungkin adalah akar masalah yang
belum bisa saya jelaskan dengan baik. Sebagai mahasiswa fakultas psikologi,
jika harus membeberkan daftar dosa dari ketidakmampuan menikmati proses
belajar, saya rasa itu akan menjadi sesuatu yang mengerikan dan tidak penting. Kalau
pun nanti jadi penting, semoga tidak dalam waktu dekat ini.
Hal
baik yang saya dapatkan dari ilmu psikologi adalah saya belajar tentang
manusia, di sana manusia seperti bunga mawar yang baru mekar, dan kadang pula
manusia menjelma sebagai serigala kelaparan yang terus mengincar mangsanya. Di
tengah kemungkinan saya membenci manusia, pelajaran di psikologi membuat saya
perlahan melihat berbagai keunikan dari manusia. Dan Sigmund Freud, menjadi
salah satu tokoh yang sangat keras kepala dalam mempertahankan
temuan-temuannya. Dari dirinya, saya belajar beberapa hal yang belum tuntas terjelaskan.
Kemarin,
saat saya membaca ulang cerpen “Tahi Lalat” dan “Sang Juru Makam” entah mengapa
saya teringat dengan konsep yang ada di kepala Freud. Sebenarnya, saya membaca
ulang untuk membuat review lengkap untuk promosi buku “Daun-daun Bambu” di toko
buku online Bookslab (silakan di follow ya terus pesan buku-buku kerennya...) tapi jadinya seperti ini.
*
Pengalaman-pengalaman
tokoh dalam dua cerpen Kawabata itu sebenarnya adalah bentuk penjelasan yang
menarik. Saya kadang membayangkan, di kelas psikologi, para dosen mulai
mengajak mahasiswa untuk gemar membaca sastra dan belajar menikmati kemungkinan
cerita dan karakter tokoh dari sana. Tentu itu akan jauh lebih menyenangkan.
Tapi, bisa jadi ini hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. Berhasil atau
tidaknya, saya belum bisa jawab. Tapi ini patut dicoba! Saya sempat
membayangkan itu (dulu saat saya ingin jadi dosen) dan jika saya saya tidak
berhasil mewujudkan itu, semoga saja ada dosen lain yang memikirkan cara itu.
Di
cerpen “Tahi Lalat” terlihat kemampuan Kawabata dalam menciptakan kekuatan
melalui hal remeh yang kadang kita abaikan, tahi lalat. Adanya tahi lalat itu
membuat si tokoh utama terus mengenang sekaligus mendapat masalah dari
kebiasaannya memainkan tahi lalatnya. Ada masalah dengan suami dan pertanyaan
masa lalu untuk ibunya. Yang menyenangkan adalah, Kawabata membuat cerita ini
berpindah dan melapisinya dengan ingatan-ingatan yang menurut Freud akan
tertimbun dan terjaga dalam alam bawah sadar. Dan juga “Sang Juru Makam” tokoh
utama yang hidup dalam kesendiriannya, ingatan terus membawanya pada
pengalaman-pengalaman mengunjungi berbagai pemakaman. Ia juga terlatih untuk
merasakan kesedihan, memahami makna lain dari kematian. Sebagai mahasiswa yang
pernah dapat nilai yang baik pada bahasan tentang psikoanalisis, saya berharap
bisa menulis cerpen serupa. Tapi ya... mungkin tak sebaik Kawabata. Atau
mungkin Kawabata muncul dan membaca cerpenku lalu dia akan bilang, “Hmm...
terlalu biasa-biasa saja”
Aduuuh. Saya tulis tentang mimpi saja kalau begitu. Mimpi kalau saya jadi penulis dan saat terbangun, Kawabata datang lagi “Kau perlu lebih banyak mimpi selain malam dan kesedihan” dan setelah itu Freud mengetuk dari jendela, “Bakar saja buku The Interpreation of Dream itu, lalu kau tulis ulang mimpimu!”
Aduuuh. Saya tulis tentang mimpi saja kalau begitu. Mimpi kalau saya jadi penulis dan saat terbangun, Kawabata datang lagi “Kau perlu lebih banyak mimpi selain malam dan kesedihan” dan setelah itu Freud mengetuk dari jendela, “Bakar saja buku The Interpreation of Dream itu, lalu kau tulis ulang mimpimu!”
2 comments
Selain diliputi hasrat seksual, perasaan dan pikiran tokoh-tokoh dalam karya Kawabata kayak gunung es. Banyak yg harus dikeruk.
ReplyMishima muridnya Kawabata pun sama rada Freudian juga. Siapa yg tak pengen jadi murid Kawabata?
hehehe...betul betul :)
Reply